Selasa, 11 November 2014

Daun Kering Yang Berkhianat


Kulihat daun kering berserakan
layu rapuh tak berguna
tertiup angin terbawa arus nestapa
jauh dari asal lahirnya
Lihatlah daun kering yang berkhianat itu
menyesali laku yang dibuat
dan takkan dimaaf atas maaf yang terucap
mengabadi takdir yang tercatat
Suara pecutan sapu jalanan
laksana ancaman akan penderitaan
sedikit cahaya akan bahagia kehidupan
yang terkenang hanyalah goresan hinaan atas pengkhianatan

Kamis, 09 Oktober 2014

Embun di Fajar Ceria


              Deru ombak mengalun. Berjajar menghampiriku dengan tenang. Lembut ia menyentuhku. Menghiburku dengan gemericik airrnya yang merdu. Aku tersenyum menikmati waktu ini. Suasana yang tentram dan menyejukkan. Menatap sunset yang akan hilang. Meninggalkan goresan sinar  yang indah. Aku betah disini.
            Tapi tetap saja aku tak bisa melupakan kejadian hari ini. Kejadian yang membuat hidupku seperti berhenti.  Shafiqa, pujaan hatiku. Ia wanita yang kunanti selama ini. Siang tadi aku menjemputnya dibandara, dia akan tiba dari Bali. Aku  berniat untuk memberikan kejutan untuknya. Aku akan menyatakan perasaanku padanya. Tapi sayang, aku tak pernah tahu tentang lelaki yang dikenalkannya padaku. Lelaki itu tunangan Shafiqa. Ahh!!...aku mendengus kesal dalam hati. Aku mengambil pasir yang bercampur air itu dengan amarah. Aku melemparkannya di gulungan ombak yang berdansa ria. Aku seperti pasir itu. Aku datang saat ombak itu bahagia. Aku hancur ketika ombak itu tertawa. Aku berteriak lantang “aku benci hidup ini! Tuhan mengapa kau ciptakan aku hanya untuk terluka”.  Pantai ini semakin gelap dan sunyi. Sunyi seperti hati dan pikiranku. Aku beranjak pergi meninggalkan pantai ini. Aku pacu mobilku tanpa tahu arah mana yang akan kutuju. Aku tak peduli pada lampu yang menyala merah itu. Aku tak peduli aturan-aturan yang menjadi pedoman itu. Ciitt..mobil aku rem mendadak. Sial! Ada saja halangan. Aku mengumpat dalam hati kejadian baru saja. Aku menabrak seorang bocah. Aku keluar dari mobil dan aku menghampiri bocah itu. “Hei kamu baik-baik saja?”. Yang kutanya cuma meringis dan memperlihatkan sikunya yang berdarah. Oh God, kasihan anak ini. Baiklah, sebagai seorang dokter aku harus peduli pada anak ini. Aku membawanya ke mobilku dan mencari kotak P3K. Lagi-lagi sial batinku. Aku baru ingat kalau kotak P3K itu tadi pagi kupakai untuk mengobati Pak Bowo tetanggaku yang kakinya kena paku, dan aku lupa tidak memasukkan ke mobilku. Akhirnya aku membawa anak ini ke klinik terdekat. Dalam perjalanan menuju klinik aku tak banyak bicara. Baru tadi aku tidak peduli kalau aku seorang dokter yang tidak akan mematuhi aturan. Semua karena Shafiqa. Aku terlalu berharap padanya. Aku melirik gadis kecil disampingku ini. Dia nampak kelelahan, bajunya kumal, seperti tak terurus, juga menahan perih ditangan. Untung saja aku bisa mengerem tepat waktu. Tapi terlalu lama mendiamkannya, aku jadi nggak enak hati. “Nama kamu siapa  Dik?” aku memulai pembicaraan. “Aida mas”. Hanya itu jawabannya, singkat batinku. “Emm…saya minta maaf ya Dik, tadi saya lagi nggak konsen nyetir”. “Iya mas, nggak apa-apa”. Dia tersenyum menatapku. Anak ini manis, batinku. Dia tanya padaku ”nama mas siapa?“. “Nama aku Radit, kamu panggil aja mas Radit”. “Mas Radit ini dokter?”. “Kok tahu?”. “Itu  di belakang ada jas putih kayak punya Pak Dokter”. “Iya, itu punya mas. Oh ya, kita udah sampai, ayo turun”. Dia terlihat bingung menatap sekitar. “Klinik mas? Aku nggak apa-apa kok mas, ntar nyampe rumah dikompres aja” dia tersenyum memamerkan gingsulnya, dia jadi terlihat lebih manis. Aku balas tersenyum dengan senyumanku yang paling baik dan mengajaknya tetap turun “Kita udah nyampe klinik terus mau pergi gitu aja? Ayo turun, itu luka kamu diobati dulu disini, kotak P3Knya mas nggak kebawa. Nanti kamu bisa ngompres di rumah, oke? Kalau nunggu kelamaan takutnya infeksi. Ayo”. Dia mengangguk, setuju dengan usulku. Selesai lukanya kuobati, aku mengantarnya pulang. “Rumah kamu dimana Aida?”. “Dibelakang kompleks perumahan Jaya Indah mas”. “Oke, mas antar…eh belakang kompleks?” aku mengernyitkan dahi. Aku lihat dia menunduk “Iya mas, aku turun disini aja nggak apa-apa mas. Ntar aku tambah ngerepotin”. “Nggak ngerepotin kok, tenang aja. Mas antar kamu sampe rumah”, aku tersenyum padanya. Dia membalas senyumku. Aku tahu tempat tinggal Aida, biasanya orang menyebutnya pemukiman kumuh, pemukiman gembel.
Aku sedikit bisa melupakan tentang Safiqa. Aku lebih tertarik mendengarkan anak ini bicara. Dia mengamen seharian. Dia banyak bercerita tentang teman-temannya. Dia melanjutkan ceritanya “Terus mas, aku pernah ngamen di kios yang ada tulisannya Dilarang Ngamen, tapi nekat aja ngamen disitu sampe dikejar-kejar pemilik kiosnya, hehe suka duka mas jadi pengamen. Nggak dapet duit juga pernah”. Aku manggut-manggut denger cerita Aida, dan tertawa waktu dia ngelucu. Laju mobil aku perlambat. Aku sudah memasuki daerah tempat tinggal Aida. Penduduk sini melongo menatap mobil yang melewati rumah mereka. “Rumahmu sebelah mana Aida?”. “Depan mas, yang paling sepi itu. Mobilnya parkir sini aja. Disana nggak cukup kayaknya”. “Oke, kita turun”. Penduduk sini menatap aku dan Aida bergantian. Tak hanya itu, mobil yang kuparkir dibelakang sana mendapat jatah disentuh anak-anak kecil. Aku tertawa dalam hati, geli melihatnya. Mungkin mereka belum pernah menyentuh mobil sebagus itu.
            Aku terkejut melihat keluarga Aida. Bukan karena keadaan rumahnya. Semua orang pasti akan tahu bagaimana rumah penduduk sini. Hanya sebuah gubuk kecil. Tak pantas kalau disebut rumah. Aku menatap adik-adik Aida yang masih kecil. Juga pada ibu Aida yang tak bisa apa-apa. Aku memperhatikan Aida yang cekatan mengurus ibu dan kedua adiknya. Memberikan makanan yang tadi aku belikan di Restoran Hiaju. Aku mendekati Aida yang sedang menyuapi ibunya. Aku bertanya sesuatu hal padanya “Aida, kamu mengurus semuanya sendiri?”. “Iya mas, ibu sakit sejak setahun lalu. Ibu jadi korban tabrak lari, ibu lumpuh. Dan semua yang ngurusin rumah aku” Aida tersenyum sedih. Aku menatap sinar matanya yang sendu. “Emm…Bapak kamu kemana Aida?”. “Bapak pergi mas,  bapak ninggalin kita. Bapak nggak pernah pulang lama banget. Mungkin bapak nggak mau lagi kenal sama kita. Dan satu bulan yang lalu, aku pernah lihat bapak dikejar-kejar polisi”. Aida tetap menyuapi ibunya, sampai habis jatah untuk ibunya. “Enak ya mbak, coba kalau tiap hari mbak Aida bawa gini terus, kan enak”. “Hehe...nggak cuma enak dek, bisa gemuk kita kalau makan gini terus tiap hari”. Celoteh kedua adik Aida yang terdengar olehku. Aku tak bisa membayangkan kehidupan mereka tanpa orang tua. Bapaknya pergi, ibunya nggak bisa apa-apa. Aida sebagai anak sulung yang bertanggungjawab atas kedua adiknya. Dadaku sesak, aku memikirkan seseorang. Aku tak mampu membendung tangis ini. Aku memeluk Aida dan adik-adiknya, pipiku banjir air mata. Aku pamit pada mereka. Aku akan pergi. Aku ingin menemui seseorang yang hampir aku lupakan. Dia ibuku.
            Perjalanan yang lumayan jauh akan aku tempuh. Mobil aku pacu dengan kecepatan tinggi. Maafkan aku untuk orang yang jauh disana. Aku tak pernah peduli padamu. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri. Aku melirik jam, pukul 22.00. Di perjalanan untuk menemuinya aku tak bisa berhenti meneteskan air mata. Aku tahu salahku banyak padanya. Aku ingin segera memeluknya. Aku akan bilang kalau aku akan selalu menyayangi dan merindukannya. Aku tak akan mengulang waktu seperti ini, menyia-nyiakan dirinya. Pukul 00.35 aku baru separuh jalan. Aku harus mempercepat lajuku. Baru aku menginjak pedal gas, aku langsung membanting setir ke kiri. “Aow!..” aku memegangi jidatku yang terbentur setir. Cukup sakit memang. Lalu aku mengusap-usap jidatku agar hilang sakitnya. Aku memandang sekeliling, hampir saja aku bertabrakan dengan truk itu di tikungan jalan ini. Mobilku menabrak pembatas jalan. Aku menyalakan mesin mobilku lagi, pertama dinyalakan nggak bisa. Sial! Aku memukul setir mobil. Aku mencobanya lagi, aku bersyukur mesinnya nyala. Aku langsung meneruskan perjalananku. Aku tak memikirkan bagian depan mobil yang tadi menabrak pembatas itu, pasti penyok. Tapi yang aku pikirkan hanya bertemu dengannya.
            Waktu masih dini hari. Jam tanganku menunjukkan pukul 02.55. Aku keluar dari mobil. Aku memandang sekeliling keadaan rumah ini. Dulu aku dilahirkan dan dibesarkan di rumah ini. Aku mengingat masa kecilku, kenangan 20 tahun lalu bersama ayah dan ibu. Tapi ayah pergi menghadap Sang Pencipta 4 tahun yang lalu. Setelah itu aku tak pernah pulang. Masih pukul 3 pagi. Ibu belum bangun. Aku menunggu diteras rumah sampai suara ayam bersahut-sahutan, sampai suara adzan berkumandang. Aku lihat lampu salah satu kamar menyala. Aku rasa itu pasti Ibu sudah terbangun. Aku mengetuk pintu rumah ini. Selang beberapa detik, suara pelan langkah kaki terdengar. Pintu terbuka sedikit. Aku langsung berkata “Ibu ini Radit bu”. Pintu langsung terbuka lebar. Seorang wanita tua muncul, matanya terlihat sayu. Dia memanggil namaku pelan. Setetes air hangat membasahi pipiku. Aku langsung duduk bersimpuh dihadapannya. “Ibu…maafkan aku. Aku tak pernah menanyai kabarmu. Aku tak pernah pulang menjengukmu”. Ibu memintaku untuk bangun. Air matanya mengalir. “Ibu nggak pernah menyalahkanmu Nak”. Tangisku sudah pecah sejak dari tadi. Begitu juga ibuku. Aku meminta maaf padanya “Ibu maafkan aku”. Ibu memelukku dan mencium keningku. Ia mengajakku masuk kedalam, menyuruhku duduk di kursi. Aku ingat kursi ini belum pernah diganti sejak aku merantau. Ibu duduk disampingku sambil membawa secangkir teh hangat Betapa salah aku pada ibuku. Aku selalu menanyai kabar pada orang lain. Aku selalu menjenguk mereka, pasienku. Tapi aku tak pernah melakukan itu pada orang yang melahirkanku. Aku selalu berharap akan cinta. Tapi aku tak pernah mambalas cinta ibuku. Betapa dia baik padaku, menyayangiku. Aku tak pernah bisa membalasnya. Aku memeluk ibuku lagi. Lalu ibu membalas pelukanku. “Nak, ibu memang merindukanmu. Tapi ibu tahu kesibukanmu menjadi dokter dikota. Ibu hanya berdoa untuk kebahagiaanmu. Ibu selalu menyebut namamu disetiap do’a, ibu selalu berharap akan perlindungan Tuhan untukmu nak. Ibu sangat menyayangimu”. Ibu melepas pelukanku. “Sudahlah Nak, ibu tak pernah menyimpan dendam karena kamu tak pernah pulang”. Kali ini dia tersenyum, dan memintaku untuk meminum teh buatannya. Aku tak percaya, setulus itu ia menyayangiku. Aku menurutinya meminum teh itu. Lama aku tak minum teh buatannya. Terima kasih ibu, atas cintamu selama ini. Aku takkan pernah bisa membalas kasihmu ini sebesar engkau mengasihiku. Aku tersenyum menatapnya dan memeluknya lagi.

-TAMAT-

Sabtu, 30 Agustus 2014

Belajar Memahami Sebelum Memarahi

Setidaknya kita punya pemahaman mengenai seseorang. Kelebihan dan kekurangan yang dupunyai. Mungkin, dimisalkan , saya diminta untuk mencarikan sesuatu-katakanlah berkas-. Saya mencari 2 hari tak ketemu. Saya bingung sendiri, karena tiap hari berkas itu selalu ditanyakan. Sampai aku menyerah, saya bilang berkasnya nggak ada, dicari dimana-mana nggak ketemu. Si Penyuruh marah-marah, bilang pokoknya harus ketemu. Saya cari lagi dimejanya, ternyata berkas itu ada dilaci mejanya. Dalam hati saya bilang, harusnya dicari dulu ditempatnya sendiri. Saya pingin dimengerti dan dipahami saat dimarahi itu. Berkas yang bertumpuk kan banyak, udah saya bongkar semua nggak ketemu.Ngertilah sedikit batinku. Tapi kalau aku pingin dingertiin, aku jadi terkesan egois. Harusnya saya juga mengerti dan memahami sifat si Penyuruh.. 
Kita sama-sama belajar mengerti dan memahami sifat orang lain, sebelum kita menghakiminya sendiri, menjudge orang lain yang beginilah begitulah. Dan pasti juga memahami diri sendiri.

Jumat, 30 Mei 2014

Rindu Tak Sesalkan Air Mata


....................................................................................................................................................

Ia jatuh bergulir, membasahi tempat. Membuat muara-muara kecil tak deras lajunya. Mereka berkumpul di ujung. Menunggu detik tuk terjun bebas. Ia tangis. Ia air mata.

Rindu....Ia menahan rasa. Namun tak tahu apa yang dirasakannya. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Tak bisa terungkap. Tersimpan dalam jiwa. Hati yang menilainya. Hati yang merasakannya.

Rindu itu rasa aneh yang berkecamuk dalam jiwa. Yang tak tahu bagaimana mengobatinya. Bertemu. Itu tak mungkin. Biarlah tersebar dalam jiwa, ia nanti kan hilang dengan sendirinya. Mungkin hanya air mata yang kan mengobatinya. Tanpa menunggu waktu, saat itu. 
"Menangis karena rindu" 
....................................................................................................................................................